Konservasi Alam dalam Persfektif Islam


Dalam sejarah kemanusiaan konservasi alam bukanlah hal yang baru. Pada 252 SM Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang kita sebut kawasan yang dilindungi. Pada sekitar 624-634 Masehi, Nabi Muhammad SAW juga membuat kawasan konservasi yang dikenal dengan hima’ di Madinah. Lalu pada tahun 1084 Masehi, Raja William I dari Inggris memerintahkan penyiapan The Doomesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang digunakan sebagai daerah untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan pembangunan negaranya.

Jadi jelaslah, konservasi sebenarnya merupakan kepentingan fitrah manusia di bumi yang dari masa kemasa terus mengalami perkembangan disebabkan kesadaran kita guna mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu memikirkan kelangsungan hidup generasi kini maupun yang akan datang. Maka tidak heran jika praktik konservasi telah ada dalam ajaran Islam.

Tanpa menegasikan pengaruh aspek lainnya, pembangunan sebagai manifestasi pengelolaan suatu ruang atau wilayah sangat tergantung pada manusia. Manusia merupakan pemegang kunci yang dinamis atas berjalannya proses kehidupan disamping alam yang meskipun cukup perkasa namun dalam dunia modern ini hampir takluk pada ambisi manusia. Meskipun prosesnya bisa berlangsung alami, namun sebagian besar permasalahan wilayah -termasuk lingkungan- disebabkan oleh tindakan manusianya sendiri. Pada posisi inilah titik pengelolaan individu memainkan peran paling vital, mengingat semua perangkat pengelolaan wilayah mulai dari yang bersifat material maupun non material masih dominan sebagai produk subyektifitas manusia. Bagaimana kualitas hasil dan implementasinya sangat tergantung pada dedikasi individual.

Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan yang banyak terjadi khususnya lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas, sehingga solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai –nilai moral, keadilan, keramahan, dan sebagainya. Bahkan Prof. T. Jacob (2005) menggagas diberlakukannya konsep Indeks Moralitas Manusia untuk menilai sejauh mana realisasi moralitas manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Ada satu parameter yang menurut hemat Penulis layak dimasukkan sebagai parameter utama menilainya –meskipun cara dan ukurannya masih perlu didiskusikan- adalah kesadaran manusia. Kesadaran merupakan aksi maupun reaksi proaktif dari moral manusia yang menjadi pijakan dalam bertindak selanjutnya.

Sebagai respon atas berbagai kasus kerusakan lingkungan di dunia akibat semakin tingginya pertumbuhan penduduk, baik di negara kaya, berkembang, serta miskin, sejak KTT Bumi di Rio de Jaeiro, Brazil tahun 1992 semua negara hampir sepakat menerapkan konsep keberlanjutan dalam pembangunannya. World Commision on Environment and Development (WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Melihat definisi tersebut, manusia sekarang memegang peran penting dalam pembangunan berkelanjutan. Konsekuensi logis dari tuntutan itu adalah terwujudnya kesadaran respektif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Kesadaran merupakan wujud konkret dari nilai moral manusia, dari kesadaran akan melahirkan strategi yang optimal, namun hanya dari transformasi pemahaman yang masif kesadaran akan hadir secara produktif.

Di sela-sela pembicaraan masalah lingkungan hidup ini, baru-baru ini dimunculkan sebuah wacana baru yang mengangkat peran agama dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup. Secara umum, agama-agama samawi memiliki pandangan yang sama mengenai perlindungan alam semesta. Agama-agama samawi menyatakan bahwa bumi dan segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya diciptakan Allah untuk manusia.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 29 misalnya, Allah SWT berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Allah SWT menyebut alam lingkungan sebagai nikmat besar yang diberi-Nya untuk manusia agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan secara benar.

Dalam surat Jatsiyah ayat 13, Allah berfirman, “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi, semuanya berasal dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dengan demikian, manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan alam semesta bagi kehidupannya, baik di bumi, maupun di langit.

Selain berhak memanfaatkan alam semesta, manusia juga diberi tanggung jawab untuk menjaga agar alam semesta tidak mengalami kerusakan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 41, Allah SWT berfirman, ‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki supaya mereka merasakan sebagian dari perilaku mereka itu supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat ini menunjukkan bahwa kerusakan alam lingkungan pada akhirnya akan memberikan dampak buruk kepada diri manusia sendiri. Sebagai contoh, perilaku manusia yang untuk menggunakan lahan bantaran sungai sebagai tempat pemukiman telah merusak kondisi alami sungai karena semakin lama sungai tersebut semakin dangkal dan penuh dnegan pencemar dan sampah. Hal ini tentunya saat musim hujan mengundang datanya banjir sehingga yang menajdi korban adalah manusia itu sendiri. Ketika bencana alam datang, manusia seharusnya menyadari kesalahannya dalam mengeksploitasi alam secara semena-mena.

Leave a comment