Peduli Tanpa Tepi


Pertama kali bertemu dengan lelaki ini, kau tahu ia istimewa. Lalu ketika mendengar ceritanya aku pun masuk ke sebuah masa, tempat dimana para pahlawan berada.

Lelaki itu, Slamet, bersama teman-temanya adalah pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Waktu itu mereka bertempur habis-habisan dan mengorbankan segalanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Agresi Militer Belanda I dan II. Mereka begitu terbiasa menempuh rute panjang Blitar-Malang-Jombang hanya dengan berjalan kaki merambah hutan, gunung, dan belukar, lalu langsung terjun ke kancah peperangan, tanpa sempat istirahat sedikit pun!

“Tahukah engkau saat terindah dalam peperangan?” tanyanya padaku dengan mata menerawang.

“Itulah saat dimana kau mendapat kesempatan mengobati semua luka akibat peperangan dengan melakukan shalat tahajud bersama. Lalu didalam jiwamu menjelma nyawa-nyawa baru yang lebih tangguh” jawabnya sendiri.

Lelaki itu juga bercerita betapa ia dan teman-temannya tak pernah menyiakan waktu yang ada. Saat menunggu antrian makan atau di saat jaga menunggu musuh, mereka selalu menyempatkan diri membaca Al-Qur’an.

“Ruh-ruh semangat kami menyatu atas nama jihad fi sabilillah”

Kupandang lelaki tujuh puluh tahun di hadapanku dengan penuh kebanggaan. Matanya teduh, di antara pancaran semangat dan kasih. Wajahnya telah penuh kerutan. Rambutnya yang memutih hanya tampak menghiasi bagian belakang kepalanya. Ia benar-benar telah renta. Tak jauh di sebelahnya, sang istri yang berusia sama menatap wajah pasangannya penuh arti.

Lalu kucermati ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan meja kayu besar tepat di tengah ruangan, tempat kami berada kini. Beberapa bagiannya telah habis dimakan rayap. Ada tiga dipan panjang yang disusun mengelilingi meja itu. Bila siang hari dipan tersebut menjadi kursi dan kala malam menjelang, secara otomatis akan berubah menjadi tempat tidur. Keempat kaki dipan di tutup dengan belahan-belahan bambu untuk dijadikan kandnag ayam. Sebuah kompor tua yang sudah tak ketahuan warna aslinya diletakkan di sudut yang lain, bersama tiga panci hitam kecil dan beberapa piring serta cangkir kaleng. Inilah sepetak rumah Mbah Slamet kini. Cuma Sepetak.

Ketika aku dan beberapa teman pertama kali mencari rumahnya, masyarakat disini berebutan menunjukkannya. Perasaanku mengatakan masyarakat di sudut kecil Singosari Malang ini sangat mencintainya. Mereka memang tak mengetahui perjuangannya untuk republik ini di masa lalu. Mereka juga tak mengetahui betapa ia tak dapat menikmati pensiun karena birokrasi yang rumit dan berbelit-belit, ditambah uang ini itu sebagai pelicinnya. Orang hanya mengenalnya sebagai pemulung tua, dengan penghasilan dua rebu perak sehari.

Mereka lekat dengan kesahajaannya. Mbah Slamet tak pernah lupa untuk memberikan ceramah pengajian di sebuah masjid tua, yang selalu dihadiri ratusan pemulung setiap bulannya. Mbah Slamet juga disebut-sebut sebagai penyantun para janda tua dan anak-anak pemulung di daerah itu.

Peristiwa demi peristiwa mendamparkannya menjadi manusia tepian dalam pandangan orang lain. Tetapi ia adalah satu dari sekian orang hebat yang pernah kutemui!

Kepedulian tanpa pamrih, tanpa tepi…. Itulah miliknya sejati.

by : Laila wahyu S dan Helvy Tiana Rosa

Leave a comment